Oleh :
Agus Purbathin Hadi
Pendahuluan
Program pemberdayaan masyarakat lahir sebagai bentuk kritik terhadap konsep pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan ketergantungan. Mulai tahun 2006, Pemerintah telah memiliki konsep penanggulangan kemiskinan secara terpadu dengan basis pemberdayaan masyarakat. Program yang diresmikan oleh Presiden Ssusilo Bambang Yudhoyono di Palu pada tanggal 1 Mei 2007 ini, bernama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dengan tujuan meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat. Program ini merupakan salah satu program utama pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja, selain program-program lain yang telah ada, seperti Raskin, Askeskin, pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah, pengembangan bahan bakar nabati dan energi alternatif, peningkatan ketahanan pangan, sertifikasi tanah bagi masyarakat miskin (Sinar Harapan, 26 April 2007).
PNPM bukan program yang sama sekali baru, namun merupakan wadah bagi terintegrasinya program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat dan diperluas secara nasional. Untuk tahun 2007, dua program diintegrasikan, yaitu Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). PNPM 2007 mencakup 1.993 kecamatan di perdesaan dan 834 kecamatan di perkotaan atau sekitar 50.000 desa. Tahun 2008, PNPM akan mengintegrasikan seluruh program penanggulangan kemiskinan di berbagai kementerian dan lembaga dan mencakup 3.800 kecamatan, dan selanjutnya pada tahun 2009 secara kumulatif seluruh kecamatan di Indonesia (5.263 kecamatan) akan mendapat PNPM (Sinar Harapan, 26 April 2007).
Dalam upaya menumbuhkan dan mengembangkan partisipasi masyarakat, peran fasilitator sangat penting sebagai katalisator yang menggerakkan masyarakat agar mau melakukan perubahan, membantu pemecahan masalah, membantu penyebaran inovasi, serta memberi petunjuk bagaimana mengenali dan merumuskan kebutuhan, mendiagnosa permasalahan dan menentukan tujuan, mendapatkan sumber-sumber yang relevan, memilih dan mengevaluasi, dan menghubungkan dengan sumber-sumber yang diperlukan. Program-program pemberdayaan masyarakat seperti PNPM menempatkan tenaga-tenaga pendamping atau sering juga disebut fasilitator (dalam makalah ini untuk selanjutnya disebut dengan Pekerja Komunitas. Dari berbagai penelitian, melaporkan ketidaksiapan peran institusi konsultansi dan fasilitasi proyek. Kurang optimalnya peran fasilitator dalam pendampingan masyarakat akibat lemahnya pemahaman ideologi pembangunan berbasis komunitas dan lemahnya pemahaman community development di antara pelaku program. (selengkapnya clik Download)
Menurut Sumpeno (2007), dalam konteks pembangunan masyarakat (civil society) kegiatan fasilitasi dilakukan oleh tenaga khusus yang bertugas; Pertama, membina kelompok masyarakat yang terkena krisis sehingga menjadi suatu kebersamaan tujuan dan kegiatan yang berorientasi pada upaya perbaikan kehidupan; Kedua, sebagai pemandu atau fasilitator, penghubung dan penggerak (dinamisator) dalam pembentukan kelompok masyarakat dan pembimbing pengembangan kegiatan kelompok. Dalam upaya mewujudkan otonomi dan kemandirian masyarakat perlu bimbingan atau pendampingan. Fasilitator biasanya identik dengan tugas pendampingan tersebut
Makalah ini akan membahas peranan Pekerja Komunitas dalam pemberdayaan masyarakat, serta keterampilan apa yang harus dimiliki untuk dapat melaksanakan peran tersebut dengan baik.